“Ekspedisi Keadilan Iklim” Suara anak untuk Warga Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak.

Sekitar pukul 07.45 WIB rombongan 1 mobil dan 3 minibus berisi 7 panitia, 24 siswa dan 8 pendamping, dari Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) dengan mitra SMP-SMA Bumi Cendekia, MTS-MA Masyithoh, SMP BOPKRI 3, SMA BOPKRI 2, SMPIT Abu Bakar dan MA Nur Iman, memulai perjalanannya. (selasa, 6/5/25).

Mobil bertulis “ekspedisi keadilan iklim” itu melaju beriringan dari Jogja menuju Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak. Dalam banyak penelitian, Sayung lebih dikenal dengan penurunan tanah (land subsidence). Selama perjalanan, anak-anak ditemani lagu Sheila on 7 yang energik, tapi prahara iklim di Timbulsloko, Sayung, Demak lebih dekat pada sanubari rombongan anak-anak itu.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.12.26.jpeg
Team YSI mengajak anak-anak bermain game keakraban bertajuk "konsentrasi", selasa (6/5/25). Foto: Saif A Pujangga
Adzan dzuhur terdengar di Rumah Makan Reinz cafe and resto — daerah Demak, rombongan tiba di sana. Sambil beristirahat dan makan siang, mas Jorgi dan mas Riski dari YSI mengajak anak-anak bermain game keakraban bertajuk "konsentrasi", dibungkus dengan amat seru, anak-anak tertawa. Tentunya kegiatan itu dilakukan untuk mencairkan suasana antar anak dari sekolah-sekolah yang mengikuti ekspedisi itu.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.11.51.jpeg
Protret anak-anak menaiki perahu mesin, selasa (6/5/25). Foto: Saif A Pujangga
Setelah kurang lebih 1 jam melanjutkan perjalanan, rombongan akhirnya sampai di Dusun Dempet, Sayung, Demak — dusun paling luar dari jalur darat kendaraan yang ditempuhnya. Belum juga beranjak, anak-anak tercengang oleh pemandangan yang dihadapinya, sebuah hamparan air yang sangat luas — semacam lautan dengan hiasan sampah pada tepi-tepinya. Alih-alih sampai pada tujuan, ternyata rombongan masih harus diantar menggunakan perahu motor, penduduk lokal telah menunggu di atas perahu itu, siap mengantarkan menuju ke lokasi dusun Timbulsloko (tujuan aslinya). “Kita akan menyeberangi air banjir rob ini kurang lebih 5 menit menggunakan perahu”. Suara mas Roni dengan nada teriak bersahutan melawan mesin perahunya. Beberapa anak tampak berpegang erat satu sama lain, air dengan kedalaman 2 meter itu sepertinya membuat mereka ketakutan, menahan nafas agak panjang.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.04.22.jpeg
Masjid Darul Ibad, Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak, selasa (6/5/25). Foto: Saif A Pujangga
Akhirnya perahu sampai pada tujuan, rombongan diberhentikan di sebuah masjid berwarna hijau tanpa papan nama. “Nama masjid ini Darul Ibad, dulu ada papan namanya, tapi sekarang sudah tidak ada, hilang oleh banjir rob yang melanda di dusun kami” ujar Joko, pemuda Dusun Timbulsloko, pemilik 1 anak.

Di serambi masjid itu, team YSI memulai ekspedisinya dengan membagi anak-anak menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok dibekali 3 pendamping, mereka mengawali kegiatan dengan mengenali dusun, menyusuri sepanjang jembatan kayu dikelilingi rumah-rumah yang setengah tubuhnya telah tertutupi air rob. Terlihat ketinggian air mencapai 110 cm dari palang air, sebuah kedalaman yang tidak wajar.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.03.56.jpeg
Kondisi Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak, selasa (6/5/25). Foto: Saif A Pujangga
“Kelompok kami terdiri dari 4 siswa, 3 pendamping dan mas Joko (warga lokal dari sana). Mas Joko sangat tulus mengantarkan sampai pada rumah Ibu Maskanah (55 tahun), tujuan wawancara dari kelompok kami di sana, sedangkan kelompok lainnya menuju ke tujuannya masing-masing”. Ujar Yola, pendamping berasal dari SMA Bumi Cendekia.

Sekitar 5 menit menunggu, Ibu Maskanah akhirnya keluar dengan sedikit tertatih dari dalam rumah menghampiri kelompok tersebut yang sejak lama duduk di teras rumahnya, terbuat dari panggung bambu. “Monggo silahkan masuk” ucap ibu Maskanah sembari tersenyum menampakkan raut wajah ramahnya. Tampaknya anak-anak mengelak, mereka justru memilih untuk meminta duduk bersama-sama di teras rumah itu.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.03.30.jpeg
Potret anak-anak melakukan wawancara di teras rumah Ibu Maskanah, selasa (6/5/25). Foto: Saif A Pujangga
“Ibu bagaimana kabarnya, perkenalkan kami siswa gabungan dari beberapa sekolah di Jogja, bermaksud melakukan wawancara dengan ibu?”, sebuah pembuka dari Dias, siswa MA Nur Iman, memecah keheningan saat itu.

Anak-anak dan ibu Maskanah akhirnya tenggelam dalam perbincangan yang panjang. “Saya lumpuh sudah 5 tahun mas, saya memiliki 5 anak, dan di sini saya hanya tinggal dengan 1 anak dan cucu-cucu saya, sedangkan ke 4 anak saya yang lain sudah tinggal sendiri-sendiri, tapi tidak di sini” ujar ibu Maskanah sembari sesekali menghapus wajahnya. “Dulu juga ada warga sini yang pintar mijat, saya senang dan selalu meminta tolong dipijat dari orang itu, tapi sekarang orangnya juga sudah keluar dari dusun ini, sedih rasanya karena sudah tidak ada lagi yang bisa membantu memijat kaki saya.” imbuhnya sambil memegang kakinya.

“Terus bagaimana kalau ibu sakit?” tanya Maulana, siswa SMA Bumi Cendekia. “Ya kalau sakit susah mas, di sini rumah sakit jauh, akses jalannya juga susah, saya hanya bisa dirumah saja” jawab bu Maskanah dengan wajah setengah senyum.

Perbincangan itu mengalir lebih dari 1 jam, kadang anak-anak tertegun, kadang tertawa. Tidak terasa sore berlalu dengan cepat dan anak-anak desa sana berhamburan berjalan berjejer di atas jembatan yang terbuat dari kayu, menggambarkan seperti telah selesai mengikuti pengajian sore, menggerakkan kelompok itu untuk segera pamit dari rumah ibu Maskanah.

Bagi anak-anak yang mengikuti ekspedisi, Dusun Timbulsloko adalah cerita tersendiri, untuk pertama kalinya mereka merasakan tidur dan bermalam di rumah panggung yang berada di atas genangan air rob.

Keesokan harinya (rabu, 8/5/25) anak-anak melanjutkan ekspedisinya ke Dukuh Wonorejo — Kalau kemarin mereka datang diantar perahu, kali ini mereka meninggalkan Dusun Timbulsloko dengan berjalan kaki, tak lama, sekitar 20 menit mereka menghabiskan jalan yang hanya terbuat dari tumpukan batu dengan kanan kirinya hamparan luas wajah banjir air rob.

Sesampainya di Dukuh Wonorejo, Pak Sairi - pemandu dari warga sana, memberi cerita ke anak-anak mengenai daerahnya, “Di sini, awal pertama kali kena abrasi pada tahun 2019, saat itu warga sini gotong royong menanam mangrove, tapi ada juga pemasangan tanggul beton, tujuannya untuk membantu agar dusun tetap aman. Dulu untuk memotivasi warga sini, setiap orang yang mempunyai tanah ditawari untuk menanam mangrove dan nanti dikasih upah, akhirnya banyak yang ikut menanam. Kalau mengenai sanksi perusakan mangrove kami bukan mempidanakan, melainkan kami wajibkan mengganti dengan menanam 1000 pohon mangrove. Pohon mangrove ini tujuannya banyak, salah satunya untuk mengatasi abrasi, agar ketika hujan deras bisa tertahan oleh mangrove ini, yang kedua untuk UMKM, seperti dibuat keripik dll, selain itu akar pohon ini seperti cacing, nantinya akan berfungsi untuk mengangkat tanah disini” ujar panjang dari Pak Sairi.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.02.32.jpeg
Pak Sairi menceritakan kondisi daerahnya, dan memberikan edukasi penanaman mangrove. Rabu (7/5/25). Foto: Saif A Pujangga
Anak-anak juga diedukasi mengenai cara menanam mangrove, “Caranya bibit mangrove ini nanti ditanam di pesisir pantai yang bawahnya pasir, lalu dicangkul sekitar 70 cm, setelah itu ditancapkan kayu pada samping bibitnya dan diikat untuk penyangganya” imbuhannya Pak Sairi dengan ramah. Dari pesisir pantai itu, sekitar 1000 pohon akhirnya telah ditanam oleh rombongan anak-anak itu, mereka berkontribusi langsung di sana.

Kisah selama 2 hari ini adalah ekspedisi nyata yang dialami oleh rombongan anak-anak dari Jogja, mereka yang baru berusia SMP dan SMA, ikut berusaha andil dalam menyuarakan ketidakadilan iklim yang melanda Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak juga sekitarnya. Sampai akhirnya anak-anak kembali pulang lagi ke Jogja dengan membawa tulisan ceritanya masing-masing.
WhatsApp Image 2025-05-09 at 21.08.11.jpeg
Potret penanaman 1000 mangrove oleh anak-anak rombongan dari Jogja, rabu (7/5/25). Foto: Saif A Pujangga
Bersama YSI, tulisan cerita dari anak-anak ini akan dikemas dalam sebuah buku tentang sebuah ketidakadilan iklim, suara untuk warga Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak.

Komentar